Analisa
Kontekstual Permasalahan
Keluarga-Keluarga
Katolik di Zaman Ini
1. Tuliskan
tanggapan anda terhadap kasus-kasus khusus dalam hidup keluarga yang terdapat
pada buku: pilih 4 saja! Yaitu:
A. Orang
katolik yang kawin campur
B. Orang
katolik yang berpisah dan menikah lagi
C. Orang
katoik hanya menikah secara sipil
D. Orang
katolik kumpul kebo (baku piara)
Perkembangan
zaman membawa dampak yang besar bagi
manusia. Tak pelak keluarga katolik di zaman modern ini juga merasakan hal yang
sama. Tentu saja, zaman modern ini membawa banyak pengaruh positif dalam
kehidupan manusia. Namun, perlu juga diketahui bahwa ada banyak pengaruh
negatif dalam perkembangan zaman ini. Berhadapan dengan hal ini ada banyak hal
yang terjadi juga dalam perkawinan katolik. Perkembangan zaman ini baik
langsung maupun tidak, juga mengambil bagian atau memberikan pengaruhnya yang
besar bagi perkawinan keluarga-keluarga katolik. Sejalan dengan itu, ada banyak
masalah pula yang timbul berkaitan dengan perkawinan sebuah keluarga katolik.
Gereja di
zaman modern, mencoba untuk melihat
berbagai macam hal kemuniasaan yang terjadi. Salah satu hal yang menjadi
sorotan tajam adalah keluarga-keluarga kristiani dalam kehidupan modern ini.
Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa perkembangan zaman memiliki masalah
dan situasi yang berbeda berkaitan dengan kehidupan manusia. Begitu halnya pula
yang terjadi dalam perkawinan katolik. Permasalahan-permasalahan ini harus
diselesaikan ataupun diberi pendampingan dan arahan agar keluarga-keluarga
tersebut tetap berada di jalurnya. Namun, harus diingat bahwa masalah ini
bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi dihadapkan dengan peraturan-peraturan
yang ada dalam Gereja. Oleh sebab itu para petugas pastoral harus bisa
menguasai dengan baik segala bentuk aturan dan maksud dari Gereja agar bisa
memberikan pendampingan pastoral yang benar dan terarah kepada
keluarga-keluarga ini.
Dalam
refleksi ilmiah ini, penulis mencoba untuk memberikan pandangan dan cara
pastoral bagi keluarga-keluarga yang bermasalah. Refleksi ilmiah ini didasarkan
oleh pikiran dan arahan yang diberikan oleh dosen pembimbing P. Albertus
Sujoko, MSC melalui kuliah di kelas dan melalui buku yang ditulis oleh beliau
sendiri. Penulis membatasi masalah keluarga ini dalam empat aspek seperti yang
tertulis dalam soal penuntun diatas. Intinya, penulis membuat refleksi
berdasarkan apa yang telah diterima dari dosen pembimbing.
1. Orang
Katolik yang Kawin Campur
Pada
umumnya masalah ini terjadi karena kedua belah pihak (baik pria maupun wanita)
saling mempertahankan agamanya masing-masing. Keduanya tidak mau mengikuti
agama dari pasangan masing-masing. Tentu ada berbagai macam faktor yang
melatarbelakangi sehingga keduanya tetap berpegang teguh pada ajaran iman
masing-masing. Entahkah ada faktor dorongan dari orang tua, keluarga, ataupun
dari dalam diri sendiri yang memang tidak mau meninggalkan kepercayaan iman
yang telah dihayati olehnya semenjak kecil. Ataukah karena relasi dalam
kehidupan setiap hari. Orang sudah mengetahui bahwa ia adalah penganut agama
tertentu yang begitu saleh, sehingga sangatlah mengherankan apabila ia
meniggalkan agama yang telah diimaninya secara saleh. Ada berbagai macam
latarbelakang yang dapat dikemukakan berkaitan dengan kawin campur ini. Namun,
dua hal yang dapat dilihat adalah bahwa pertama, keduanya begitu mengimani
agamanya masing-masing. Imam mereka begitu mengakar dalam kehidupan mereka,
sehingga adalah suatu hal yang sulit untuk meninggalkan agama tersebut. Kedua, pasangan ini begitu dewasa,
begitu matang, dan memiliki pengatahuan yang cukup sehingga mereka dapat
memisahkan antara agama dan perkawinan. Perkawinan adalah keputusan untuk
mengikat diri dengan seseorang karena cinta; sedangkan agama adalah relasi
khusus dengan Tuhan yang mungkin sudah mewarnai hidupnya sejak kecil oleh
pendidikan dalam keluarga dan bangku sekolah. Ada berbagai macam latarbelakang sehingga
orang bisa mengambil keputusan untuk kawin campur. Namun, pada umumnya yang
terjadi karena dorongan keluarga yang malu dalam masyarakat sosial jika ada
salah satu anggota keluarga yang pindah ke agama lain. Apalagi keluarga
tersebut memiliki jabatan atau orang yang terpandang dalam kegiatan keagamaan.
Sangatlah
jarang apabila ada keluarga yang rukun dengan hidup beda agama. Dalam keluarga
yang seagama saja tetap terjadi konflik antara kedua pasangan, apalagi pada
keluaraga yang berbeda agama. Permasalahan akan semakin parah dan runyam
apabila kedua pasangan itu kawin secara beda agama karena ada desakan dari
kedua belah pihak keluarga. Keputusan untuk
nikah beda agama bukan merupakan hasil keputusan dari kedua pasangan.
Jika demikian, maka keluarga sendiri menghantar kedua pasangan ini ataupun
kedua pasangan ini menghantar perkawinan mereka pada jurang kehancuran. Oleh
karena itu Gereja memandang bahwa masalah kawin campur ini merupakan masalah
pokok, serius dan khusus. Ia menjadi khusus karena tidak biasa ataupun berbeda
dengan pernikahan pada umumya. Karena begitu khususnya akan perkawinan campur
ini maka dibutuhkan suatu pendampingan pastoral bagi orang-orang yang melakukan
perkawinan seperti ini. Pendampingan
pastoral juga dilakukan secara khusus.
Ada tiga
hal yang merupakan kebutuhan pokok dalam perhatian pastoral menurut FC no. 78.
Ketiga hal itu dapat disebutkan:
Pertama,
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban imam pihak katolik, yaitu
untuk tidak meninggalkan imanya dan untuk mendidik anak-anaknya dalam iman
katolik.
Kedua,
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kesulitan-kesulitan khusus dalam
relasi suami-istri supaya tetap hormat pada kebebasan beragama. Kebebasan
beragama dilanggar apabila ada tekanan tidak wajar supaya pasangan meninggalkan
imanya. Kebebasan bergama juga dilanggar apabila pengungkapan iman dalam
ibadat-ibadat dihalangi.
Ketiga,
menyangkut bentuk liturgis dan kanonis perayaan kawin campur. Prinsip yang diberikan oleh FC 78 adalah:
ordinarius dapat mempergunakan wewenangnya seluas-luasnya, sesuai dengan
pelbagai kebutuhan. Megenai bentuk liturgisnya dikatakakan: “untuk menampakkan makna ekumenis dari
perkawinan campur antara kedua mempelai Kristiani, mak perlu kerjasama antar
pejabat katolik dan non-katolik sejak awal persiapan dan saat upacara
perkawinan”.
Telah
dikatakan sebelumnya bahwa tidak banyak keluarga yang kawin campur dapat hidup
bahagia seutuhnya. Ada, namun sangatlah jarang. Percekcokan maupun
perselisihan, perbedaan pendapat dan ketidapahaman akan timbul salah satunya
dengan adanya perbedaan agama ini. Ketika muncul perselisihan, maka
masalah-masalah yang lain pun akan saling mengikuti dan mengancam akan keutuhan
perkawinan dari pasangan tersebut. Oleh karena itu gerema memandang bahwa
sangatlah penting untuk memberikan pendampingan kepada pasangan yang kawin
campur ini. Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Pendampingan pastoral
yang diberikan oleh Gereja akan berhasil ketika kedua pasangan dapat mendengar
akan anjuran-anjuran Gereja. Tetapi, jika salah satu pasangan yang beragama
lain tidak mau untuk mendengarkan anjuran Gereja, karena merasa diri tidak
merupakan anggota Gereja, hal inilah yang menjadi permasalahannya.
Melihat
permasalahan ini juga, Gereja memberikan jalan keluarnya. Ketika sebelum
perkawinan itu dilakukan pihak Katolik telah memberikan penjelasan akan
keutuhan sakramen perkawinan dalam katolik. Selain itu pula, anak-anak juga
harus dididik secara katolik.
Permasalahan lain juga akan muncul ketika, salah satu pasangan yang
beragama katolik itu tidak menghidupi kekatolikannya secara baik. Malas masuk
gereja, tidak aktif dalam kegiatan kerohanian, dan cenderung beritikad buruk.
Atas dasar ini, anak-anak pasti akan lebih suka untuk mengikuti orang tuanya
yang beragama dengan kehidupan yang baik.
Atas
berbagai macam latarbelakang, alasan, akibat, dan konsekwensi-konsekwensi yang
ada dengan diadakannya perkawinan campur maka gereja meliha perlu adanya
pendekatan pastoral terhadap orang-orang tersebut. Pendekatan pastoral ini
bertujuan untuk mempertahankan perkawinan yang suci itu. Selain itu pula, hal
ini dapat membantu pasangan yang beragama katolik agar dapat tetap berpegang
tegus pada ajaran imanya dan tidak mudah goyah. Keaktifan dalam kegiatan
kerohanian akan dapat membantu seseorang untuk semakin bertumbuh dalam hidup
rohani dan pergaulan setiap hari. Perkembangan hidup rohani akan membawa dampak
juga dalam kehidupan keluarga. Pihak katolik akan dapat memberikan kesaksian
hidup dalam kehidupan setiap hari. Kesaksian hidup itu dapat nyata dalam
tingkah lakunya setia hari. Teladan hidup merupakan cara yang ampuh untuk
mempengaruhi orang lain. Dengan demikian, orang cepat terpangaruh akan apa yang
sering kita lakukan setiap hari dalam kehidupan.
2. Keluarga
Yang berpisah dan menikah lagi
Masalah
yang ada ini memberikan dampak yang lain lagi. Ajaran katolik sudah sangat
jelas bahwa perkawinan katolik itu utuh dan tak terceraikan. Namun,
kenyataannya ada banyak pasangan katolik yang berpisah dan kemudian menikah
lagi. Pengahayatan akan kemurnian perkawinan katolik telah luntur dalam
kehidupan mereka. Jika mereka menikah lagi pastilah tidak dalam naungan gereja
katolik. Walaupun perlu disadari bahwa mereka tetap anggota gereja. Keluarga
yang berpisah biasanya terjadi bahwa salah satu pihak meninggalkan pasangannya.
Dan biasanya ia pergi ke tempat yang jauh dengan waktu yang cukup lama. Setelah
sekian tahun berpisah, kemudian di dapati kabar bahwa pihak yang meninggalkan
itu telah kawin dengan orang lain dan masuk agama lain. Pihak yang ditinggalkan
ini kemudian mencari relasi yang baru dengan pasanga lain yang seagama
pula. Disinilah letak permasalahannya.
Kedua pasangan itu tidak mungkin dipisahkan lagi. Apalagi sudah terikat dengan
adanya kelahiran seorang anak. Melihat permasalahan ini gereja memberikan jalan
keluarnya, mengingat bahwa pasangan ini biar bagaiamanapun juga masih merupakan
anggota gereja dan gereja bertanggungjawab pula atas apa yang telah mereka alami
dan lakukan.
Dua prinsip
yang dipegang teguh oleh gereja adalah: pertama, gereja berpegang teguh pada
kebenaran yang diimaninya. Kebenaran itu harus dijaga dari segala kemungkinan
yang bisa mengaburkan pengertian umat. Nah, dengan demikian gereja secara jelas
dan tegas untuk melarang mereka atau kedua pasangan ini untuk sambut atau
komuni. Alasan mengapa mereka tidak
boleh komuni karena mereka secara nyata dan jelas hidup tidak sesuai dengan
persatuan kasih antara Kristus dan Gereja yang terdapat dalam komuni itu.
Selain itu pula ada asalan pastoral lain. Jika pasangan ini diizinkan untuk
menerima komuni maka umat beriman akan disesatkan dan bingung mengenai ajaran
Gereja tentang tak terceraikannya perkawinan. Hal ini tentunya akan menjadi
perdebatan, batu sandungan dalam kehidupan menggereja. Oleh karena itu agar hal
itu tidak terjadi para petugas pastoral harus mampu mengambil sikap dengan
sebijaksana mungkin.
Kedua,
gereja juga menampakkan wajah belas kasih dan pengertian. Menurut, saya hal inilah yang sangat
bijaksana dilakukan oleh Gereja. Gereja memang memiliki banyak aturan yang
ketat dan tegas tentang bagaimana seseorang harus menghidupi imannya itu secara
bersungguh-sungguh. Namun, untuk menghidupi aturan-aturan itu Gereja senantiasa
berupaya dengan sebaik-baiknya membantu para anggotanya agar dapat menghidupi
imannya itu denga sebaik mungkin. Ketika mendapatkan kesulitan ataupun masalah
gereja tidak meninggakan begitu saja. Gereja memberikan sarana ataupun jalan
keluar yang terbaik.
Sama halnya
yang terjadi dalam hal perkawinan seperti ini. Gereja tahu dan sadar akan
masalah yang dihadapi oleh anggotanya oleh karena itu dengan sikap yang sangat
bijaksana gereja mencoba untuk melihat permasalahan yang terjadi ini agar
anggotanya pun mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Nah, berkaitan dengan
permasalahan perkawinan yang telah kawin lagi gereja memberikan sikapnya dengan
tegas untuk tidak komuni tetapi serentak semangat belas kasih dan pengertian.
Hal ini nampak dalam sikap gereja untuk membeda-bedakan dengan teliti
situasi-situasi khusus yang dialami oleh masing-masing orang yang
bersangkutan. Misalnya:
a. Orang
yang dengan tulus telah berusaha menyelamatkan perkawinan pertemanya, namun
secara tidak adil telah ditinggalkan oleh pasangan.
Orang ini perlu dilihat
oleh gereja sebagai orang katolik yang sudah sungguh-sungguh menghayati akan
kemurnian panggilan hidupnya sebagai orang katolik. Orang ini mengalami
ketidakadilan yang dilakukan oleh pasangannya. Dengan demikian gereja perlu
menyelidiki ataupun membantu dengan bagaimana cara agar orang tersebut dapat
merasa bahagia dengan kehidupan keluarganya sekarang dan kehidupan imanya
sebagai anggota gereja.
b. Orang
yang karena kesalahannya sendiri telah menghancurkan perkawinan yang sah secara
kanonik. Contoh: dengan adanya selingkuh.
Menurut saya, kasus ini
ada kemiripan dengan kasus diatas. Salah satu pasangan meninggalakan
pasangannya secara tidak adil. Ia pergi dengan
orang lain. Misalnya saja bapak anto dan ibu ani telah menikah. Namun,
pada akhirnya diketahui bahwa bpk. Anto selingkuh. Tetapi Ibu Ani dengan
kerendahan hatinya yang begitu dalam, memaafkan Bpk. Anto. Ibu Ani berupaya
untuk mempertahankan kehidupan perkawinan mereka yang suci itu. Namun, sayangya
bpk. Anto sudah terlanjur selingkuh berulang kali. Lebih parahnya wanita
selingkuhannya itu telah melahirkan anak. Pada akhirnya Bpk. Anto meninggalkan
Ibu. Ani. Tentu saja pendampingan pastoral yang akan dilakukan oleh Gereja akan
berbeda terhadap ibu. Ani dan bpk. Anto. Misalnya saja: Ibu Ani berada di
Paroki Kathedral Manado. Pendekatan pastoralnya aka berbeda. Gereja akan
memberika jalan yang bijaksana untuk menghantar ibu Ani pada jalan yang benar.
Sedangkan, sekarang Bpk. Anto sudah berada di Paroki Kathedral Jakarta. Pihak
petugas paroki akan menangani kasus Bpk. Anto dengan lain pula, karena beliau
dan pasangannya secara jelas melanggar akan kesucian perkawinan itu.
c. Orang
yang masuk dalam perkawinan kedua demi pemeliharaan anak-anak. Ambil saja
contoh dari Ibu. Ani diatas. Beliau telah berupaya untuk mempertahankan
perkawinannya. Setelah ditingalkan oleh Bpk. Anto pun Ibu. Ani tetap tidak mau
merusak hubungan perkawinan yang sudah pernah ia jalani. Namun, demi anaknya
yang masih kecil Ibu. Ani melakukan perkawinan yang kedua. Ibu. Ani tidak
memiliki pekerjaan dan perlu ada orang yang membantu dalam mendidik dan
membesarkan anaknya ini.
Gereja juga memiliki
tindakan pastoral yang sungguh-sungguh lain dengan orang-orang seperti ini.
Apabila sudah diselidiki kasus ini dan ternyata memang benar tentu saja
tindakan pastoral gereja akan sunguh-sungguh menampakkan belas kasihannya.
Namun, pertanyaan yang timbul, apakah orang-orang seperti ini bisa dinikahkan
secara sah? Menurut saya, aturan gereja sudah jelas. Mereka tidak boleh menikah
lagi. Namun, gerejalah yang terus-menerus ada bersama dengan mereka, sehingga
mereka tetap dengan penuh keyakinan berada dalam payung gereja katolik.
d. Orang-orang
yang kadang-kadang secara subyektif
yakin dalam hatinya bahwa perkawinan yang pertama dan yang telah hancur
dan tak dapat dipulihkan lagi itu merupakan perkawinan yang tidak pernah sah.
Dalam kasus ini
terdapat sesuatu yang menarik. Sudah dikatakan bahwa setiap orang sudah tahu
persyaratan-persyarakatan untuk sahnya nikah katolik. Namun, bisa saja pada
saat menikah ada berbagai hal yang terjadi sehingga pernikahan itu seakan-akan
di buat sah. Misalnya: ternyata perkawinan itu merupakan suatu paksaan atau
karena ada ancaman dari pihak lain, sehingga harus dilaksanakan perkawinan
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sudah dari awalnya perkawinan
itu tidak sah dan dengan sendirinya tidak pernah terjadi perkawinan karena
unsur-unsur yang ada tidak dipenuhi.
Menarik apa yang
dikomentari oleh P. Sujoko dalam kasus ini. Beliau mengatakan bahwa orang
berani menjalin relasi yang baru karena ia sungguh-sungguh yakin bahwa
perkawinan yang pertama itu tidak sah. Ia yakin dari dalam hatinya perkawinan
pertama itu tidaklah sah. Salah satu yang membuatnya tidak sah adalah karena
perkawinan tersebut adalah hasil paksaan misalnya. Dengan demikian, orang
tersebut dengan penuh keyakinan dan pengetahuan bahwa ia bisa menjalin hubungan
atau relasi yang baru, dan ada kemungkinan bisa diterima secara sah dalam
gereja katolik.
Sikap belas
kasih gereja nampak dalam pembedaan-pembedaan kasus tersebut. Gereja tidak
serta-merta menganggap sama saja yang yang kawin lagi. Dengan mengetahui atau
memberikan pembedaan-pembedaan diatas pejabat Gereja akan lebih cermat melihat
kenyataan sehingga menampilkan sikap pastoral yang tepat.
Kalimat ini
juga menarik disimak agar saya dan para petugas pastoral lainnya dalam
memberikan pastoral yang tepat bagi umat. Diharapkan juga pastoral itu dapat
memberikan gambaran ataupun sesuai dengan tujuan gereja bagi keluarga-keluarga
yang mengalami situasi-situasi tertentu: sikap
belaskasih bertumpu pada keyakinan bahwa tidak seorangpun dengan sengaja
menginginkan kehancuran rumah tangganya. Bahtera perkawinan yang kandas
disebabkan oleh faktor yang sangat kompleks. Dalam arti tertentu orang-orang
yang rumah tangganya hancur tidak dapat dipersalahkan seratus persen.
Barangkali mereka sendiri amat menyesali kehancuran itu.
Hendaknya
para petugas pastoral juga melihat kemungkinan-kemungkinan seperti yang telah
diuraikan diatas. Hal ini penting dalam pendekatan pastoral agar kita dapat
mengambil langkah pastoral yang tepat. Para petugas pastoral juga dengan penuh
kesadaran akan situasi-situasi khusus ini agar dapat mendekati mereka dalam
semangat cinta kash Kristus sendiri yang ingin agar semua manusia dapat selamat
dalam nama-Nya.
Nah, dalam
arti itu gereja memberikan jalan keluarnya untuk memberikan pendampinga
pastoral bagi orang-orang seperti ini. Saya sendiri setuju dengan apa yang
diungkapkan oleh dosen pembimbing. Namun, ada beberapa catatan tambahan
mengenai pikiran saya akan apa yang telah diungkapkan. Berikut ini urainnya:
Dalam buku,
dosen memberikan beberapa cara pendampingan belas kasihan yang diusulkan oleh
Gereja sendiri:
a. Menyakinkan
pasangan yang telah berpisah dan kawin lagi bahwa mereka tidak perlu menganggap
diri mereka terpisah dari Gereja. Sebagai orang-orang yang telah dibaptis
mereka dapat, bahkan harus, mengambil bagian aktif dalam hidup menggereja di
paroki, wilayah rohani dan kelompok kategorial.
Menurut saya, bukanlah
suatu hal yang mudah untuk dapat bergaul atau menjalin relasi secara aktif
dalam kehidupan sosial kerohanian dalam suatu wilayah gerejawi tertentu. Saya pikir, tindakan pastoral yang pertama-tama
itu harus dilakukan adalah berupaya untuk memberikan pendekatan pastoral kepada
seluruh umat gerejawi itu agar mereka juga dengan penuh sadar dan sukacita
menerima keluarga ini. Jika mereka sudah dapat menerima keluarga ini dengan
baik, maka keluarga ini pula dengan sendirinya dapat menjalin hidup atau relasi
dengan umat pada umumnya. Kebanyakan yang terjadi di lapangan, keluarga sulit
untuk menjalin relasi dengan umat lainnya, karena tidak ada penerimaan dari
umat itu sendiri. Dengan demikian mereka merasa minder. Jika petugas pastoral
sudah bisa memberikan keterangan dan arahan kepada umat pada umumnya, dengan
demikian umat itu yang akan mengajak keluarga ini untuk berpartisipasi secara
aktif dalam kehidupan gereja di lingkungan sekitar. Contoh yang paling jelas
adalah kehidupan wilayah rohani ataupun
kegiatan kategorial lainnya.
b. Mereka
harus didorong untuk membaca Kitab Suci, menghadiri Ekaristi, berkanjang dalam doa-doa, memberikan derma dan terlibat
dalam kegiatan sosial-ekonomi Gereja.
Menurut saya, semua
kegiatan ini akan dapat terlaksana jika ada kesadaran dari pejabat gereja, para
umat dan terlebih khusu dari keluarga-keluarga yang bermasalah ini. Jika
ketiganya dapat saling bekerja sama dengan baik, maka pembangunan iman umat
dapat terlaksana dalam wilayah gerejawi tersebut. Keluarga-keluarga yang
bermasalah ini juga merasa terbantu dan terhibur dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan serta kehidupan lingkungan rohani. Dengan demikian, mereka dapat
menghidupi iman mereka secara baik.
c. Mereka
diajak untuk membesarkan anak-anak mereka menurut iman Kristiani, memupuk
semangat berkorban dan laku tapa serta memohonkan rahmat Allah.
Menurut saya, hal ini
dapat terwujud asalkan kedua orang tua mereka juga memiliki semangat hidup
rohani yang baik. Kehidupan pembinaan agama dan iman dapat terjadi itu melalui
keluarga. Tetapi, kehidupa rohani itu harus disertakan dengan contoh-contoh.
Anak-anak biasanya lebih suka untuk meneladani orang tuanya. Jika orang tuanya
rajik ke gereja, mengajak anak ke gereja, pasti anak itu pula akan terbiasa
dengan sendirinya. Namun, sebaliknya jika orang tua malas maka anak itu pun
pasti akan malas.
d. Gereja
perlu menyemangati dan mendoakan mereka dean memperlihatkan diri sebagai ibu
yang penuh pengertian dan belas kasih dan menopang mereka dalam iman dan
pengharapan.
Menurut saya,
seandaianya saya yang menjadi keluarga bermasalah dengan pernyataan seperti itu
maka saya akan bertanya: secara konkretnya Gereja itu siapa saja? Lalu siapa
yang harus mendoakan, memberi pengertian dan menopang kami dalam iman dan
pengharapan?
Saya berefleksi untuk
mencari jawabannya. Saya pikir Gereja itu adalah semua umat beriman. Kalau
diparoki berarti ada pastor paroki, ada dewan pastoral paroki, ada ketua-ketua
wilayah rohani, ada ketua-ketua kelompok kategorial, kaum bapa, WK RI, remaja,
mudika, dan lain sebagainya. Pertanyaan
selanjutnya, apakah mereka umat beriman dalam hal ini Gereja, sungguh-sungguh
peduli pada keluarga yang bermasalah? Ataukah, malah hal sebaliknya yang dilakukan?
Mereka menjuahi, mencemooh, bahkan menghina dan tidak menghirauka
keluarga-keluarga seperti ini. Mereka mengangap keluarga ini hanya perusak iman
dan moral gereja saja.
Seperti yang telah saya
utarakan dalam point pertama tadi. Dalam hal ini, pastor paroki sebagai petugas
pastoral yang sangat berperan penting. Pertama-tema ia harus memberikan
pengertian dan pemahaman terlebih dahulu kepada umat beriman seluruhnya akan
peran dan tugas mereka dalam kehidupan umat bermasyarakat. Jadi, yang
diperhatikan bukan hanya umat yang tidak ada masalah tetapi keluarga yang
bermasalah juga harus diperhatikan agar gereja itu dapat merangkum seluruh
keselamatan umat beriman yang berada dalam suatu wilayah gerejawi tertentu.
Bentuk konkret dari perhatian ini adalah, dengan menerima mereka dalam
komunitas, mengajak mereka dalam kegiatan-kegiata komunitas, bahkan memberikan
tanggung jawab tertentu sehingga mereka sungguh-sungguh merasa untuk dihargai.
Baiklah apa
yang dikatakan oleh FC tentang cara pastoral bagi keluarga yang sudah menikah
lagi. Pertama, Gereja berupaya untuk
menyadarkan mereka bahwa apa yang telah lakukan itu merupakan suatu kesalahan.
Oleh karena itu, mereka harus bertobat. Mereka bisa memperoleh sakramen tobat
dan ekaristi apabila mereka hidup tertarak sama sekali.
Menurut
saya, tepatlah apa yang dilakukan oleh gereja untuk keluarga yang mengalami
kasus seperti ini. Namun, perlu diingat pulah bahwa bukanlah suatu hal yang
gampang itu hidup bertarak dalam suatu keluarga. Tidaklah mudah suami dan istri
untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, ada banyak kasus yang terjadi
bahwa banyak anggota keluarga katolik yang bermasalah ini tidak atau belum
menerima sakramen tobat maupun ekaristi karena masalah yang mereka hadapi atau
jalani ini. Lantas, jika demikian hal apa yang harus dilakukan Gereja? Menurut
saya, hal yang paling baik jika situasi demikian adalah dengan tetap mengajak
mereka masuk dalam persekutuan komunitas. Walaupun mereka tidak menerima
sakramen tobat dan ekaristi bukan berarti mereka tidak masuk dalam anggota
komunitas. Diharapkan dengan hidup komunitas, membangun hidup doa yang baik,
menjadi teladan dan mempraktekkan semangat injili yang dijiwai oleh cinta kasih
Kristus rahmat Allah akan senantiasa ada dalam kehidupan mereka. Jika keluarga
ini, tidak mampu hidup bertarak sama sekali, namun mereka mampu untuk
menunjukkan semangat hidup keluarga kristiani kita menaruh harapan yang besar
akan kuasa Allah dan rahmat-Nya bagi keluarga ini. Intinya, agar gereja tetap
menjaga iman dan menjaga kehidupan mereka agar selalu bersatu bersama denga
gereja.
Kedua, demi penghormatan pada sakramen Perkawinan,
bagi pasangan suami-istri sendiri dan bagi keluarga mereka, serta bagi
persekutuan umat beriman, setiap pastor dilaran, entah apapun alasannya, untuk menyelenggarakan upacara
apapun bagi orang-orang yang berpisah untuk kawin lagi. Perayaan seperti itu
akan memberikan kesan seolah-olah ada perkawinan baru yang sah secara
sakramental, dan dengan demikian akan menyesatkan umat mengenai tak
terceraikannya perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah.
Saya, pikir
pernyataan ini sungguh-sungguh jelas adanya. Pastor paroki memang jangan
memberikan atau menyelenggarakan upacara apapun. Hal ini juga nantinya akan menjadi batu
sandungan bagi umat yang saleh. Oleh karena itu, untuk menjaga iman umat
jangalah bertingkah laku yang aneh yang hanya akan membuat konfrontasi dalam
kehidupan komunitas.
3. Orang
Katolik yang menikah Secara Sipil saja
Perkawinan
atau pernikahan dalam bentuk ini merupakah pengaruh dari perkembangan zaman
ataupun dunia yang semakin sekuler. Menurut saya pribadi, ada kebingungan
ataupun kekaburan dengan orang yang hanya menikah secara sipil saja. Padahal
menurut hukum Indonesia sendiri, orang yang menikah secara sipil itu berarti
sudah menikah secara sah dalam gereja ataupun agama tertentu. Dalam
pemerintahan tinggal pencatatan saja bahwa orang ini atau kedua pasangan ini
sudah menikah secara sah dalam agama tertentu. Permasalahan ini juga sempat
diangkat dalam diskusi dikelas. Berdasarkan hasil diskusi itu maka dilihat bahwa
orang yang menikah secara sipil hanya memberikan atau memasukkan namanya dalam
pemerintah setempat yang menyatakan bahwa kedua pasangan ini sudah menikah. Hal
itu dicatat dalam catatan pemerintah agar status mereka menjadi jelas dalam
catatan pemerintah yang mana mereka berdua telah menikah. Walaupun begitu
keduanya belum sah dalam agama manapun.
Untuk lebih
mengerti konteks menikah secara sipil ini maka saya melihat beberapa hal yang
diungkapkan oleh dosen pembimbing berkaitan dengan menikah secara sipil ini.
Beberapa orang katolik menikah secara sipil saja karena tidak pernah memiliki
iman katolik yang hidup. Iman mereka hanya dangkal dan tidak terlalu mengerti
akan pentingnya kesucian iman katolik.
Alasan lain lagi beberapa orang katolik menikah secara sipil karena
mereka menghargai perkawinan gerejani yang tidak terceraikan, namun mereka
sendiri merasa belum sanggup untuk menikah atas cara demikian. Mereka takut
kalau-kalau perkawinan ini akan tidak tidak utuh. Alasan lain mengatakan bahwa orang katolik
menikah secara sipil karena mereka memang menolak gereja. Mereka ingin
membebaskan dir dari pengaruh Gereja. Dan sebagai tanda penolakan itu mereka
sengaja untuk menikah secara sipil saja.
Menurut
saya, apapun alasan yang dikemukakan tentang orang katolik yang nikah sipil
itu, perkawinan ini tidak bisa dijadikan sebagai perkawinan yang sah.
Alasannya, perkawinan sipil tidak dapat dijadikan landasan di dalam gereja yang
memiliki berbagai macam persyaratan untuk tericptanya suatu pernikahan. Apapun yang
terjadi, pernikahan secara sipil tidak bisa diangap legitim atau sah sesuai
hukum. Mungkin secara pemerintahan bisa, tetapi dalam gereja tidak bisa
dipertanggungjawabkan orang-orang yang menikah secara sipil ini. Orang katolik
yang ingin menikah, yang siap menjalani suatu keterikatan ataupun persekutuan,
harus benar-benar menyadari akan makna perkawinan ini. Perkawinan orang beriman
katolik bukanlah suatu perkawinan yang coba-coba saja atau asal-asalan saja.
Saya kawin dulu secara sipil, nanti kalau sudah tidak cocok maka bisa
diceraikan. Orang katolik yang seperti
ini harus diluruskan pemikirannya tentang perkawinan “sebagai orang katolik”
sejati.
Dari hal
diatas dapat dikatakan bahwa pendampingan atau bentuk pastoral yang baik bagi
orang katolik yang nikah secara sipil adalah dengan memberikan pemahaman kepada
mereka akan kesucian dan nilai luhur dari sepasang katolik yang telah menikah.
Sebagai orang katolik yang telah menikah mereka harus sungguh-sungguh menpunyai
komitment yang tinggi untuk menunjukkan persatuan antara Allah dan manusia,
antara Gereja dan umatnya dalam perkawinan yang telah mereka jalani itu.
Perkawinan orang katolik bukanlah perkawinan coba-coba saja. Mereka harus
konsisten dengan pilihan hidup dan berani mengambil keputusan dalam kehidupan
mereka. Jangan takut tetapi harus berani. Dalam proses itu gereja membantu
penghayatan dan pendalaman iman serta pemahaman mereka tentang perkawinan orang
katolik.
4. Orang
katolik yang “baku piara” (kumpul kebo/ de facto hidup bersama)
Dalam
konteks sosial-kultural, budaya lingkungan dari penulis, hal ini banyak terjadi
di Minahasa. Ada banyak hal yang menimbulkan sehingga terjadinya hal atau fakta
ini. Selain yang telah diungkapkan oleh dosen menurut dokumen FC, ada
alasan-alasan praktis lainnya yang menyebabkan sehingga orang melakukan praktek
keagamaan seperti ini, apalagi yang katolik.
Beberapa alasan yang diungkapkan oleh
FC adalah masalah ekonomi, menolak campur tangan masyarakat, atau
ketidakmampuan psikologis yang membuat mereka bimbang atau takut untuk memasuki
suatu ikatan yang tetap dan pasti; atau dalam beberapa negeri adat-istiadatnya
mengatur bahwa perkawinan terjadi setelah jangka waktu hidup serumah dan
melahirkan anak pertama.
Beberapa
alasan diatas yang dikemukakan cukup umum. Berikut ini, saya mencoba menyajikan
beberapa alasan praktis yang sesuai dengan kulture budaya yang terjadi di
masyarakat Manado. Hal pertama yang bisa menjadi alasan baku piara ini adalah
ketidaksetujuan orangtua atas pasangan. Orang tidak setuju anaknya untuk
menikah dengan orang yang tidak mereka sukai. Dengan demikian, mereka tidak
merestui perkawinan anaknya itu. Hal ini terjadi juga, dengan pihak yang satu
juga merasa tersingung akhirnya tidak menyutujui juga perkawinan tersebut. Pada
akhirnya kedua pasangan ini menjadi bingung karena kedua orang tua meraka tidak
setuju pada hubungan yang mereka jalin. Akhirnya, karena cinta yang ada maka
mereka lari dan belum siap untuk kawin secara agama. Jadi mereka berdua hanya
tinggal seatap saja tanpa pengakuan dari agama maupun catatan sipil. Alasan lain juga karena keterbatasan ekonomi.
Saya pernah pergi ke pusat kota Manado.
Kebetulan rumah yang saya pergi itu adalah tempat kos. Saya merasa kaget
bahwa sebagian besar yang kos di situ sudah berkeluarga. Lebih parahnya lagi, mereka sudah hidup
bertahun-tahun di kos-kossan itu dan belum pernah diakui perkawinan mereka.
Saya mencoba mencari tahu alasannya. Kebetulah bapak pemiliki rumah itu cukup
tahu dari istrinya tentang permasalahan mereka. Pada umumnya, orang tua mereka
sudah tidak mengakui mereka sebagai anak karena mereka telah hamil duluan
sebelum menikah. Hal itu terjadi ketika mereka sekolah atau bekerja di Manado.
Pada akhirnya, orang tua sudah malu dan anak itu juga tidak mau lagi pulang ke rumah.
Akhirnya, mereka hanya tinggal di kossan dan tinggal di perkotaan saja selama
bertahun-tahun. Tentu perlu juga
diketahui ada alasan-asalan lain lagi
yang melatarbelakangi hal ini.
Dari
beberapa contoh diatas maka saya berpikir bahwa benarlah apa yang diungkapkan
oleh FC bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang sah dan bahkan harus ditolak.
Tapi, timbul pertanyaan bahwa apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang
ini? Bahkan ada yang mengataka bahwa ada keluarga yang “kumpul kebo” ini hidup
keluarganya lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang menikah secara sah.
Dan memang hal ini nyata terjadi, dan ada. Oleh karena itu Gereja harus
mengambil perannya terhadap anggota komunitas katolik yang hidup seperti ini.
Gereja
harus menjadi sarana dan jalan keluar bagi mereka yang mengalami hal-hal
seperti ini. Salah satu jalan yang terbaik berupaya untuk menuntun mereka agar
bisa menyelesaikan masalah mereka dengan keluarga ataupun meluruskan pemahaman
mereka. Mereka harus mendidik mereka agar supaya mereka bisa menjalani
kehidupan kekatolikan mereka dengan baik. Gereja harus menjadi terang penuntu
bagi mereka. Proses pembinaan terhadap orang-orang seperti ini sangat
diperlukan. Tentu agar mereka mau dituntun maka harus ada pendekatan terlebih
dahulu. Selain itu pula, dapat dilakukan perkawinan masal. Setelah diselidiki,
orang-orang atau pasangan-pasangan tertentu yang sudah bisa memenuhi syarat
maka perlu adanya perkawinan masal sehingga hidup saleh dari keluarga-keluarga
ini dapat dituntun dalam terang gereja sendiri.
Ada begitu
banyak permasalahan yang dihadapi oleh umat beriman di zaman ini. Seiring
berkembangnya zaman, banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang muncul
berkaitan dengan moral manusia. Gereja harus berupaya dengan sebaik mungkin
agar iman umat katolik tetap dapat dipertahankan walaupun terdapat berbagai
macam tantangan dan rintanga yang menghalangi keutuhan umat beriman.
Dalam
refleksi ilmiah diatas penulis telah mencoba untuk melihat, menggali,
merenungkan akan permasalahan-peramasalahan yang terjadi sekitar perkawinan
umat katolik. Permasalahan-permasalahan tersebut begitu kompleks dan cukup
sulit dalam penangannya. Tidaklah begitu mudah untuk menyelesaikan suatu permasalahan
nikah dalam kehidupan umat beriman. Oleh karena itu gereja harus terus menerus
berupaya dengan sebaik mungkin mendidik dan mengembangkan para petugas
pastoralnya agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sehingga bisa mendidik
umat sesuai dengan ajaran iman katolik.
Gereja
harus membina keluarga-keluarga katolik yang berada dala berbagai permasalahan.
Sebenarnya, berbagai macam permasalahan yang ada itu dapat diselesaikan dengan
satu kegiatan kunci dari para petugas pastoral itu sendiri, dalam hal ini
pastor paroki. Kegiatan kunci itu adalah kunjungan umat. Umat akan sangat
dihargai apabila pastor paroki datang untuk mengunjungi mereka. Dalam kunjungan
itulah pastor paroki mulai menghantar dan mendidik mereka. Kunjungan sangat
penting dalam karya pastoral yang akan menuntun umat pada pemahaman yang benar
tentang iman katolik. Apakah, sudah banyak pastor paroki yang begitu?
Perkembangan iman umat ada di tangah petugas pastoral. Umat memang memiliki
banyak masalah, tetapi ketika masalah itu dibantu oleh pastor paroki maupun
petugas pastoral mereka akan sangat dihargai dan membantu mereka.
Sumber bacaan dan rujukan:
Refleksi ilmiah ini dibuat
oleh penulis berdasarkan sumber buku dari P. Albertus Sujoko, Teologi Moral Keluarga, Yogyakarta:
Kanisius, 2011. Sumber seluruhnya ada dalam buku ini, sehingga terdapat
berbagai penulisan ataupun kalimat diambil oleh penulis dari buku ini. Semoga
refleksi ini bisa berguna bagi banyak orang. Terima kasih kepada dosen
pembimbing P. Albertus Sujoko, yang telah menghantar kami khususnya saya untuk
mendalami mata kuliah Teologi Keluarga sepanjang semester ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar