Senin, 14 Januari 2013

teologi ekaristi


Nama: Christo C. Pascalis Waluyan
Tingkat/Semester: III/V
Mata Kuliah: Teologi Ekaristi
Transubstansi Roti-Anggur menjadi Tubuh-Darah Kristus
A.    Beberapa teks kitab suci yang menunjukkan transubstansi Roti-Anggur menjadi Tubuh-Darah Kristus:
1.      Mat. 26:26-28: Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.
2.      Mrk. 14:22-24:  Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Ambillah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu. Dan Ia berkata kepada mereka: "Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.
3.      Luk. 22:19-20: Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku." Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.
4.      1 Kor. 11:21-25: Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk. Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa? Apakah yang kukatakan kepada kamu? Memuji kamu? Dalam hal ini aku tidak memuji. Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: "Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!"
5.      1 Kor. 11:27 Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.
B.     Refleksi Teologis Tentang Transubstansi Roti dan Anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristtus.
Perjamuan Ekaristi merupakan warisan penting yang Yesus berikan kepada pengikut-Nya. Salah satu tolak ukurnya adalah pada saat Yesus mengadakan Perjamuan Malam terakhir bersama dengan murid-murid-Nya. Dalam perjamuan ini terjadilah apa yang disebut dengan perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus sendiri. Berbagai macam penafsiran bahkan protes yang timbul tentang perubahan yang terjadi ini. Beberapa Gereja tertentu tidak setuju bahwa perubahan itu terjadi, namun perubahan itu hanya simbol saja. Berbeda jauh dengan pandangan Gereja Katolik yang mengatakan bahwa perubahan itu sungguh-sungguh terjadi. Buktinya dapat dilihat dalam pemaparan ayat-ayat kitab suci di bagian awal.
Untuk mengerti akan sesuatu yang bilanglah tidak dapat dapat diterima dengan akal budi, maka para Bapa Gereja membuat refleksi tentang hal ini. Selain refleksi terdapat juga ajaran ataupun anjuran yang terdapat dalam ensiklik-ensiklik yang memberikan uraian jelas tentang perubahan yang terjadi dalam perayaan Ekaristi. Tujuannya agar Ekaristi ini semakin dekat, dimengerti, dihayati, diimani, dan dipraktekkan dalam kehidupan iman umat kristiani.
Kata transubstansi menunjuk pada perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Kata lain yang biasanya dipakai adalah transfinalisasi atau transubstansiasi. Transfinalisasi berasal dari bahasa Latin Transfinalization, sedangkan kata transubstansiasi berasal dari bahasa Latin juga yaitu Transubstantiation.  Kedua kata ini menunjuk pada arti yang sama yaitu perubahan. Kata ini biasanya dipakai untuk menunjukkan perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus sendiri.[1]
1.      Ensiklik Mysterium Fidei
Ensiklik ini dikeluarkan oleh Paus Paulus VI. Salah satu masalah serius yang dibahas di dalamnya adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Pada waktu itu perubahan ini menjadi sorotan yang sangat serius. Masalahnya adalah apakah Kristus sungguh-sungguh hadir dalam dalam roti dan anggur itu? Permasalahan ini muncul pada pertengahan abad 20. Masalah yang timbul adalah konsep tentang transsubstantiatio. “Istilah substantia tidak lagi dipahami sebagai hakikat atau esensi dari sesuatu hal, … tetapi dimengerti sebagai materi atau bahan fisik. … Pemahaman modern terhadap konsepsi substansi sebagai materi atau bahan ini jelas dipengaruhi oleh ilmu alam dan pengetahuan yang berkembang pada zaman ini.”[2] Nah beberapa teolog berupaya memakai istilah lain berkaitan dengan perubahan roti dan anggur ini. Namun, pemakaian istilah yang baru memberikan pemahaman  dan pengahayatan yang kurang pas  dari perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Berdasarkan hal ini maka Paus Paulus VI memberikan komentarnya dalam ensiklik Mysterium Fidei ini. Dalam ensiklik  dikatakan bahwa perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus bukan hanya terjadi secara fungsi, tujuan dan maksudnya saja melainkan seluruh bagian secara esensial dari roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.[3] Bapa Paus Paulus VI menyadari bahwa perubahan yang terjadi dalam roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus bukanlah perubahan yang terjadi secara fungsi bahkan simbolik saja. Namun, perubahan itu memang sungguh-sungguh terjadi, dan Kristus berada dalam roti dan anggur yang telah berubah itu.[4]
Dengan demikian benarlah apa yang disampaikan oleh St. Cyrilus dari Yerusalem, roti kelihatan roti tetapi bukanlah roti. Anggur kelihatan anggur tetapi bukanlah anggur. Walaupun begitu ketika merasakannya rasanya adalah roti dan anggur. Namun, itu bukanlah roti dan anggur tetapi  itu adalah Tubuh dan Darah Kristus yang telah berubah dari roti dan anggur.[5]  St. Cyrilus ingin mengungkapkan bahwa roti dan anggur itu bukanlah roti dan anggur yang biasa lagi, namun Kristus ada disitu. Memang kelihatannya seperti roti dan anggur biasa saja. Jika dirasakan rasanya pun tetap sama saja. Namun, perubahan atau peristiwa transfigurasi telah mengubah roti dan anggur itu menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Bentuknya tetap sama, namun esensialnya telah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dengan demikian Kristus hadir dalam roti dan anggur tersebut.
C.     Pesan Untuk Umat Masa Kini Berkaitan Dengan  Transubstansi Roti dan Anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Perkembangan zaman membawa pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan iman umat. Ilmu pengetahun dan penggunaan ratio membuat orang sering kali lupa akan agama yang ia anut. Orang semakin tidak percaya akan agama dan lebih berdiri pada kemampuan dirinya. Orang di zaman modern ini dihadapkan dengan berbagai macam hal yang membuat guncang iman mereka. Orang modern mengalami krisis iman yang luar biasa. Beberap bentuk krisis iman yang dialami oleh orang modern adalah Deisme, Agnostisisme, Ateisme.[6] Alhasil banyak orang yang semakin jarang datang ke Gereja untuk merayakan Ekaristi bersama setiap hari minggunya. Datang untuk merayakan Ekaristi hanya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya.
Untuk mengatasi krisis iman itu maka perlulah membangun komunikasi yang baik dengan Allah. Komunikasi ini terjadi apabila kita bisa membuka diri untuk menerima rahmat Allah yang dicurahkan kepada kita. Salah satu sarana yang tepat adalah dengan mengikuti perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi adalah perayaan yang menyelamatkan, memberi pemahaman, dan penghayatan yang baik dalam diri kita. Dalam perayaan yang menyelamatkan itu kita bisa melihat perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Kristus sendiri. Bahkan kita bisa menyantap Tubuh dan Darah Kristus itu. Setelah kita mengalami dan merasakan sendiri apa yang terjadi, maka terciptalah sebuah hubungan intim yang mersra dengan Allah. Hubungan yang personal itu membantu kita untuk semakin merasakan kehadiran Allah dalam diri kita, Allah ada dan menyertai kita selalu di mana pun kita berada, di dunia yang modern ini sekalipun. Allah tetap mereja dan menguasai ciptaan-Nya sampai akhir zaman.
·         Kehadiran Allah dalam Kehidupan Manusia
Umat Katolik yang hidup di zaman modern mengalami krisis iman. Berbagai macam pertanyaan diajukan tentang ajaran iman Katolik. Apalagi jikalau orang dalam berada dalam kesusahan, eksistensi Allah sering dipertanyakan. Orang bertanya apakah Allah masih ada diantara kita? Kapan manusia akan mengalami kehadiran Allah?
Semua pertanyaan itu dapat dijawab dengan peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Allah mengutus Putra-Nya datang ke dunia untuk secara aktif hadir bersama dengan umat-Nya dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan dosa. Melalui Yesus Kristus kita semua memperoleh penebusan dosa dan bisa bersatu dengan Allah. Selain itu pula Yesus sehakekat dengan Allah. Dengan demikian, di dalam Yesus, Allah hadir, turun menyertai umat-Nya dalam perziarahan di muka bumi ini. “Kristus adalah kesatuan antara yang transenden dan yang imanen, … Bila sakrament Allah dan kebersamaan dengan Allah itu sungguh hadir dalam Ekaristi yang dibagi-bagikan, maka kita yang menyambutnya pun boleh mengalami Allah dan dipersatukan dengan-Nya.”[7]  Melalui Yesus Kristus, kita manusia yang berdosa dapat merasakan kehadiran Allah. Kita semua dapat merasakan kehadiran Allah secara langsung melalui Sakrament Ekaristi. Perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus memungkinkan kita untuk dapat merasakan kehadiran Allah secara nyata.
Daftar Pustaka:
1.      Y.B. Prasetyantha, MSF (Edt). Ekaristi Dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
2.      Albertus Sujoko.  Beriman Sebagai Orang Modern. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2008.
3.      E. Martasudjita, Pr. Ekaristi, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
4.      Saint Cyrillus (Bishop Of Jerusallem). The Catechetical Lectures Of S. Cyril, Archbishop Of Jerusalem, edt. John Henry Parker. (London: J.G. and F. Rivington, 1931), hlm. 278. Buku  berbentuk ebook diambil dari http://books.google.co.id/books?id=Rj0QAAAAYAAJ&printsec=frontcover&dq=st.cyrillus&source=bl&ots=PUGN0Ag6ql&sig=nioleTrWGRn4QcqbP3F-v8S8prk&hl=id&sa=X&ei=9Gk_UM7_GMPtrQepk4HoDw&ved=0CC4Q6AEwAA#v=onepage&q=body%20of%20christ&f=false
5.      Gerald O’Collins. SJ dan Edward G. Farrugia, SJ. A Concise Dictionary Of Theology, diterjemahkan oleh I. Suharyo, Pr. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
6.      Transcribed by Paul Halsall. Mysterium Fidei: Encyclical on the Holy Eucharist. His Holiness Pope Paul VI Promulgated on September 3, 1965. Diambil dari http://www.newadvent.org/library/docs_pa06mf.htm




[1][1] Lih. Gerald O’Collins. SJ dan Edward G. Farrugia, SJ. A Concise Dictionary Of Theology, diterjemahkan oleh I. Suharyo, Pr. Kamus Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 338
[2] E. Martasudjita, Pr. Ekaristi, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 336
[3] Bdk. Ibid 338
[4] Bdk. Mysterium Fidei No. 46
[5] Bdk. Saint Cyrillus (Bishop Of Jerusallem). The Catechetical Lectures Of S. Cyril, Archbishop Of Jerusalem, edt. John Henry Parker. (London: J.G. and F. Rivington, 1931), hlm. 278. Buku  berbentuk ebook diambil dari http://books.google.co.id/books?id=Rj0QAAAAYAAJ&printsec=frontcover&dq=st.cyrillus&source=bl&ots=PUGN0Ag6ql&sig=nioleTrWGRn4QcqbP3F-v8S8prk&hl=id&sa=X&ei=9Gk_UM7_GMPtrQepk4HoDw&ved=0CC4Q6AEwAA#v=onepage&q=body%20of%20christ&f=false
[6] Deisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak ada hubungannya dengan dunia dan manusia. … Alam bekerja sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Agnostisisme adalah aliran yang tidak mau peduli apakah Tuhan itu atau tidak. Ateisme adalah aliran yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. lih. Albertus Sujoko, Beriman Sebagai Orang Modern, (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2008), hlm. 94-98
[7] Y.B. Prasetyantha, MSF (Edt). Ekaristi Dalam Hidup Kita. (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 154

moral keluarga


Analisa Kontekstual Permasalahan
Keluarga-Keluarga Katolik di Zaman Ini

1.      Tuliskan tanggapan anda terhadap kasus-kasus khusus dalam hidup keluarga yang terdapat pada buku: pilih 4 saja! Yaitu:
A.    Orang katolik yang kawin campur
B.     Orang katolik yang berpisah dan menikah lagi
C.     Orang katoik hanya menikah secara sipil
D.    Orang katolik kumpul kebo (baku piara)
Perkembangan zaman  membawa dampak yang besar bagi manusia. Tak pelak keluarga katolik di zaman modern ini juga merasakan hal yang sama. Tentu saja, zaman modern ini membawa banyak pengaruh positif dalam kehidupan manusia. Namun, perlu juga diketahui bahwa ada banyak pengaruh negatif dalam perkembangan zaman ini. Berhadapan dengan hal ini ada banyak hal yang terjadi juga dalam perkawinan katolik. Perkembangan zaman ini baik langsung maupun tidak, juga mengambil bagian atau memberikan pengaruhnya yang besar bagi perkawinan keluarga-keluarga katolik. Sejalan dengan itu, ada banyak masalah pula yang timbul berkaitan dengan perkawinan sebuah keluarga katolik.
Gereja di zaman modern, mencoba untuk melihat  berbagai macam hal kemuniasaan yang terjadi. Salah satu hal yang menjadi sorotan tajam adalah keluarga-keluarga kristiani dalam kehidupan modern ini. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa perkembangan zaman memiliki masalah dan situasi yang berbeda berkaitan dengan kehidupan manusia. Begitu halnya pula yang terjadi dalam perkawinan katolik. Permasalahan-permasalahan ini harus diselesaikan ataupun diberi pendampingan dan arahan agar keluarga-keluarga tersebut tetap berada di jalurnya. Namun, harus diingat bahwa masalah ini bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi dihadapkan dengan peraturan-peraturan yang ada dalam Gereja. Oleh sebab itu para petugas pastoral harus bisa menguasai dengan baik segala bentuk aturan dan maksud dari Gereja agar bisa memberikan pendampingan pastoral yang benar dan terarah kepada keluarga-keluarga ini.
Dalam refleksi ilmiah ini, penulis mencoba untuk memberikan pandangan dan cara pastoral bagi keluarga-keluarga yang bermasalah. Refleksi ilmiah ini didasarkan oleh pikiran dan arahan yang diberikan oleh dosen pembimbing P. Albertus Sujoko, MSC melalui kuliah di kelas dan melalui buku yang ditulis oleh beliau sendiri. Penulis membatasi masalah keluarga ini dalam empat aspek seperti yang tertulis dalam soal penuntun diatas. Intinya, penulis membuat refleksi berdasarkan apa yang telah diterima dari dosen pembimbing.
1.      Orang Katolik yang Kawin Campur
Pada umumnya masalah ini terjadi karena kedua belah pihak (baik pria maupun wanita) saling mempertahankan agamanya masing-masing. Keduanya tidak mau mengikuti agama dari pasangan masing-masing. Tentu ada berbagai macam faktor yang melatarbelakangi sehingga keduanya tetap berpegang teguh pada ajaran iman masing-masing. Entahkah ada faktor dorongan dari orang tua, keluarga, ataupun dari dalam diri sendiri yang memang tidak mau meninggalkan kepercayaan iman yang telah dihayati olehnya semenjak kecil. Ataukah karena relasi dalam kehidupan setiap hari. Orang sudah mengetahui bahwa ia adalah penganut agama tertentu yang begitu saleh, sehingga sangatlah mengherankan apabila ia meniggalkan agama yang telah diimaninya secara saleh. Ada berbagai macam latarbelakang yang dapat dikemukakan berkaitan dengan kawin campur ini. Namun, dua hal yang dapat dilihat adalah bahwa  pertama, keduanya begitu mengimani agamanya masing-masing. Imam mereka begitu mengakar dalam kehidupan mereka, sehingga adalah suatu hal yang sulit untuk meninggalkan agama tersebut. Kedua, pasangan ini begitu dewasa, begitu matang, dan memiliki pengatahuan yang cukup sehingga mereka dapat memisahkan antara agama dan perkawinan. Perkawinan adalah keputusan untuk mengikat diri dengan seseorang karena cinta; sedangkan agama adalah relasi khusus dengan Tuhan yang mungkin sudah mewarnai hidupnya sejak kecil oleh pendidikan dalam keluarga dan bangku sekolah.  Ada berbagai macam latarbelakang sehingga orang bisa mengambil keputusan untuk kawin campur. Namun, pada umumnya yang terjadi karena dorongan keluarga yang malu dalam masyarakat sosial jika ada salah satu anggota keluarga yang pindah ke agama lain. Apalagi keluarga tersebut memiliki jabatan atau orang yang terpandang dalam kegiatan keagamaan.
Sangatlah jarang apabila ada keluarga yang rukun dengan hidup beda agama. Dalam keluarga yang seagama saja tetap terjadi konflik antara kedua pasangan, apalagi pada keluaraga yang berbeda agama. Permasalahan akan semakin parah dan runyam apabila kedua pasangan itu kawin secara beda agama karena ada desakan dari kedua belah pihak keluarga. Keputusan untuk  nikah beda agama bukan merupakan hasil keputusan dari kedua pasangan. Jika demikian, maka keluarga sendiri menghantar kedua pasangan ini ataupun kedua pasangan ini menghantar perkawinan mereka pada jurang kehancuran. Oleh karena itu Gereja memandang bahwa masalah kawin campur ini merupakan masalah pokok, serius dan khusus. Ia menjadi khusus karena tidak biasa ataupun berbeda dengan pernikahan pada umumya. Karena begitu khususnya akan perkawinan campur ini maka dibutuhkan suatu pendampingan pastoral bagi orang-orang yang melakukan perkawinan seperti ini.  Pendampingan pastoral juga dilakukan secara khusus.
Ada tiga hal yang merupakan kebutuhan pokok dalam perhatian pastoral menurut FC no. 78. Ketiga hal  itu dapat disebutkan:
Pertama, menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban imam pihak katolik, yaitu untuk tidak meninggalkan imanya dan untuk mendidik anak-anaknya dalam iman katolik.
Kedua, menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kesulitan-kesulitan khusus dalam relasi suami-istri supaya tetap hormat pada kebebasan beragama. Kebebasan beragama dilanggar apabila ada tekanan tidak wajar supaya pasangan meninggalkan imanya. Kebebasan bergama juga dilanggar apabila pengungkapan iman dalam ibadat-ibadat dihalangi.
Ketiga, menyangkut bentuk liturgis dan kanonis perayaan kawin campur.  Prinsip yang diberikan oleh FC 78 adalah: ordinarius dapat mempergunakan wewenangnya seluas-luasnya, sesuai dengan pelbagai kebutuhan. Megenai bentuk liturgisnya dikatakakan: “untuk menampakkan makna ekumenis dari perkawinan campur antara kedua mempelai Kristiani, mak perlu kerjasama antar pejabat katolik dan non-katolik sejak awal persiapan dan saat upacara perkawinan”.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa tidak banyak keluarga yang kawin campur dapat hidup bahagia seutuhnya. Ada, namun sangatlah jarang. Percekcokan maupun perselisihan, perbedaan pendapat dan ketidapahaman akan timbul salah satunya dengan adanya perbedaan agama ini. Ketika muncul perselisihan, maka masalah-masalah yang lain pun akan saling mengikuti dan mengancam akan keutuhan perkawinan dari pasangan tersebut. Oleh karena itu gerema memandang bahwa sangatlah penting untuk memberikan pendampingan kepada pasangan yang kawin campur ini. Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Pendampingan pastoral yang diberikan oleh Gereja akan berhasil ketika kedua pasangan dapat mendengar akan anjuran-anjuran Gereja. Tetapi, jika salah satu pasangan yang beragama lain tidak mau untuk mendengarkan anjuran Gereja, karena merasa diri tidak merupakan anggota Gereja, hal inilah yang menjadi permasalahannya.
Melihat permasalahan ini juga, Gereja memberikan jalan keluarnya. Ketika sebelum perkawinan itu dilakukan pihak Katolik telah memberikan penjelasan akan keutuhan sakramen perkawinan dalam katolik. Selain itu pula, anak-anak juga harus dididik secara katolik.  Permasalahan lain juga akan muncul ketika, salah satu pasangan yang beragama katolik itu tidak menghidupi kekatolikannya secara baik. Malas masuk gereja, tidak aktif dalam kegiatan kerohanian, dan cenderung beritikad buruk. Atas dasar ini, anak-anak pasti akan lebih suka untuk mengikuti orang tuanya yang beragama dengan kehidupan yang baik.
Atas berbagai macam latarbelakang, alasan, akibat, dan konsekwensi-konsekwensi yang ada dengan diadakannya perkawinan campur maka gereja meliha perlu adanya pendekatan pastoral terhadap orang-orang tersebut. Pendekatan pastoral ini bertujuan untuk mempertahankan perkawinan yang suci itu. Selain itu pula, hal ini dapat membantu pasangan yang beragama katolik agar dapat tetap berpegang tegus pada ajaran imanya dan tidak mudah goyah. Keaktifan dalam kegiatan kerohanian akan dapat membantu seseorang untuk semakin bertumbuh dalam hidup rohani dan pergaulan setiap hari. Perkembangan hidup rohani akan membawa dampak juga dalam kehidupan keluarga. Pihak katolik akan dapat memberikan kesaksian hidup dalam kehidupan setiap hari. Kesaksian hidup itu dapat nyata dalam tingkah lakunya setia hari. Teladan hidup merupakan cara yang ampuh untuk mempengaruhi orang lain. Dengan demikian, orang cepat terpangaruh akan apa yang sering kita lakukan setiap hari dalam kehidupan.
2.      Keluarga Yang berpisah dan menikah lagi
Masalah yang ada ini memberikan dampak yang lain lagi. Ajaran katolik sudah sangat jelas bahwa perkawinan katolik itu utuh dan tak terceraikan. Namun, kenyataannya ada banyak pasangan katolik yang berpisah dan kemudian menikah lagi. Pengahayatan akan kemurnian perkawinan katolik telah luntur dalam kehidupan mereka. Jika mereka menikah lagi pastilah tidak dalam naungan gereja katolik. Walaupun perlu disadari bahwa mereka tetap anggota gereja. Keluarga yang berpisah biasanya terjadi bahwa salah satu pihak meninggalkan pasangannya. Dan biasanya ia pergi ke tempat yang jauh dengan waktu yang cukup lama. Setelah sekian tahun berpisah, kemudian di dapati kabar bahwa pihak yang meninggalkan itu telah kawin dengan orang lain dan masuk agama lain. Pihak yang ditinggalkan ini kemudian mencari relasi yang baru dengan pasanga lain yang seagama pula.  Disinilah letak permasalahannya. Kedua pasangan itu tidak mungkin dipisahkan lagi. Apalagi sudah terikat dengan adanya kelahiran seorang anak. Melihat permasalahan ini gereja memberikan jalan keluarnya, mengingat bahwa pasangan ini biar bagaiamanapun juga masih merupakan anggota gereja dan gereja bertanggungjawab pula atas apa yang telah mereka alami dan lakukan.
Dua prinsip yang dipegang teguh oleh gereja adalah: pertama, gereja berpegang teguh pada kebenaran yang diimaninya. Kebenaran itu harus dijaga dari segala kemungkinan yang bisa mengaburkan pengertian umat. Nah, dengan demikian gereja secara jelas dan tegas untuk melarang mereka atau kedua pasangan ini untuk sambut atau komuni.  Alasan mengapa mereka tidak boleh komuni karena mereka secara nyata dan jelas hidup tidak sesuai dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja yang terdapat dalam komuni itu. Selain itu pula ada asalan pastoral lain. Jika pasangan ini diizinkan untuk menerima komuni maka umat beriman akan disesatkan dan bingung mengenai ajaran Gereja tentang tak terceraikannya perkawinan. Hal ini tentunya akan menjadi perdebatan, batu sandungan dalam kehidupan menggereja. Oleh karena itu agar hal itu tidak terjadi para petugas pastoral harus mampu mengambil sikap dengan sebijaksana mungkin.
Kedua, gereja juga menampakkan wajah belas kasih dan pengertian.  Menurut, saya hal inilah yang sangat bijaksana dilakukan oleh Gereja. Gereja memang memiliki banyak aturan yang ketat dan tegas tentang bagaimana seseorang harus menghidupi imannya itu secara bersungguh-sungguh. Namun, untuk menghidupi aturan-aturan itu Gereja senantiasa berupaya dengan sebaik-baiknya membantu para anggotanya agar dapat menghidupi imannya itu denga sebaik mungkin. Ketika mendapatkan kesulitan ataupun masalah gereja tidak meninggakan begitu saja. Gereja memberikan sarana ataupun jalan keluar yang terbaik.
Sama halnya yang terjadi dalam hal perkawinan seperti ini. Gereja tahu dan sadar akan masalah yang dihadapi oleh anggotanya oleh karena itu dengan sikap yang sangat bijaksana gereja mencoba untuk melihat permasalahan yang terjadi ini agar anggotanya pun mendapatkan jalan keluar yang terbaik. Nah, berkaitan dengan permasalahan perkawinan yang telah kawin lagi gereja memberikan sikapnya dengan tegas untuk tidak komuni tetapi serentak semangat belas kasih dan pengertian. Hal ini nampak dalam sikap gereja untuk membeda-bedakan dengan teliti situasi-situasi khusus yang dialami oleh masing-masing orang yang bersangkutan.  Misalnya:
a.       Orang yang dengan tulus telah berusaha menyelamatkan perkawinan pertemanya, namun secara tidak adil telah ditinggalkan oleh pasangan.
Orang ini perlu dilihat oleh gereja sebagai orang katolik yang sudah sungguh-sungguh menghayati akan kemurnian panggilan hidupnya sebagai orang katolik. Orang ini mengalami ketidakadilan yang dilakukan oleh pasangannya. Dengan demikian gereja perlu menyelidiki ataupun membantu dengan bagaimana cara agar orang tersebut dapat merasa bahagia dengan kehidupan keluarganya sekarang dan kehidupan imanya sebagai anggota gereja.
b.      Orang yang karena kesalahannya sendiri telah menghancurkan perkawinan yang sah secara kanonik. Contoh: dengan adanya selingkuh.
Menurut saya, kasus ini ada kemiripan dengan kasus diatas. Salah satu pasangan meninggalakan pasangannya secara tidak adil. Ia pergi dengan  orang lain. Misalnya saja bapak anto dan ibu ani telah menikah. Namun, pada akhirnya diketahui bahwa bpk. Anto selingkuh. Tetapi Ibu Ani dengan kerendahan hatinya yang begitu dalam, memaafkan Bpk. Anto. Ibu Ani berupaya untuk mempertahankan kehidupan perkawinan mereka yang suci itu. Namun, sayangya bpk. Anto sudah terlanjur selingkuh berulang kali. Lebih parahnya wanita selingkuhannya itu telah melahirkan anak. Pada akhirnya Bpk. Anto meninggalkan Ibu. Ani. Tentu saja pendampingan pastoral yang akan dilakukan oleh Gereja akan berbeda terhadap ibu. Ani dan bpk. Anto. Misalnya saja: Ibu Ani berada di Paroki Kathedral Manado. Pendekatan pastoralnya aka berbeda. Gereja akan memberika jalan yang bijaksana untuk menghantar ibu Ani pada jalan yang benar. Sedangkan, sekarang Bpk. Anto sudah berada di Paroki Kathedral Jakarta. Pihak petugas paroki akan menangani kasus Bpk. Anto dengan lain pula, karena beliau dan pasangannya secara jelas melanggar akan kesucian perkawinan itu.
c.       Orang yang masuk dalam perkawinan kedua demi pemeliharaan anak-anak. Ambil saja contoh dari Ibu. Ani diatas. Beliau telah berupaya untuk mempertahankan perkawinannya. Setelah ditingalkan oleh Bpk. Anto pun Ibu. Ani tetap tidak mau merusak hubungan perkawinan yang sudah pernah ia jalani. Namun, demi anaknya yang masih kecil Ibu. Ani melakukan perkawinan yang kedua. Ibu. Ani tidak memiliki pekerjaan dan perlu ada orang yang membantu dalam mendidik dan membesarkan anaknya ini.
Gereja juga memiliki tindakan pastoral yang sungguh-sungguh lain dengan orang-orang seperti ini. Apabila sudah diselidiki kasus ini dan ternyata memang benar tentu saja tindakan pastoral gereja akan sunguh-sungguh menampakkan belas kasihannya. Namun, pertanyaan yang timbul, apakah orang-orang seperti ini bisa dinikahkan secara sah? Menurut saya, aturan gereja sudah jelas. Mereka tidak boleh menikah lagi. Namun, gerejalah yang terus-menerus ada bersama dengan mereka, sehingga mereka tetap dengan penuh keyakinan berada dalam payung gereja katolik.
d.      Orang-orang yang kadang-kadang secara subyektif  yakin dalam hatinya bahwa perkawinan yang pertama dan yang telah hancur dan tak dapat dipulihkan lagi itu merupakan perkawinan yang tidak pernah sah.
Dalam kasus ini terdapat sesuatu yang menarik. Sudah dikatakan bahwa setiap orang sudah tahu persyaratan-persyarakatan untuk sahnya nikah katolik. Namun, bisa saja pada saat menikah ada berbagai hal yang terjadi sehingga pernikahan itu seakan-akan di buat sah. Misalnya: ternyata perkawinan itu merupakan suatu paksaan atau karena ada ancaman dari pihak lain, sehingga harus dilaksanakan perkawinan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sudah dari awalnya perkawinan itu tidak sah dan dengan sendirinya tidak pernah terjadi perkawinan karena unsur-unsur yang ada tidak dipenuhi.
Menarik apa yang dikomentari oleh P. Sujoko dalam kasus ini. Beliau mengatakan bahwa orang berani menjalin relasi yang baru karena ia sungguh-sungguh yakin bahwa perkawinan yang pertama itu tidak sah. Ia yakin dari dalam hatinya perkawinan pertama itu tidaklah sah. Salah satu yang membuatnya tidak sah adalah karena perkawinan tersebut adalah hasil paksaan misalnya. Dengan demikian, orang tersebut dengan penuh keyakinan dan pengetahuan bahwa ia bisa menjalin hubungan atau relasi yang baru, dan ada kemungkinan bisa diterima secara sah dalam gereja katolik.
Sikap belas kasih gereja nampak dalam pembedaan-pembedaan kasus tersebut. Gereja tidak serta-merta menganggap sama saja yang yang kawin lagi. Dengan mengetahui atau memberikan pembedaan-pembedaan diatas pejabat Gereja akan lebih cermat melihat kenyataan sehingga menampilkan sikap pastoral yang tepat.
Kalimat ini juga menarik disimak agar saya dan para petugas pastoral lainnya dalam memberikan pastoral yang tepat bagi umat. Diharapkan juga pastoral itu dapat memberikan gambaran ataupun sesuai dengan tujuan gereja bagi keluarga-keluarga yang mengalami situasi-situasi tertentu: sikap belaskasih bertumpu pada keyakinan bahwa tidak seorangpun dengan sengaja menginginkan kehancuran rumah tangganya. Bahtera perkawinan yang kandas disebabkan oleh faktor yang sangat kompleks. Dalam arti tertentu orang-orang yang rumah tangganya hancur tidak dapat dipersalahkan seratus persen. Barangkali mereka sendiri amat menyesali kehancuran itu.
Hendaknya para petugas pastoral juga melihat kemungkinan-kemungkinan seperti yang telah diuraikan diatas. Hal ini penting dalam pendekatan pastoral agar kita dapat mengambil langkah pastoral yang tepat. Para petugas pastoral juga dengan penuh kesadaran akan situasi-situasi khusus ini agar dapat mendekati mereka dalam semangat cinta kash Kristus sendiri yang ingin agar semua manusia dapat selamat dalam nama-Nya.
Nah, dalam arti itu gereja memberikan jalan keluarnya untuk memberikan pendampinga pastoral bagi orang-orang seperti ini. Saya sendiri setuju dengan apa yang diungkapkan oleh dosen pembimbing. Namun, ada beberapa catatan tambahan mengenai pikiran saya akan apa yang telah diungkapkan. Berikut ini urainnya:
Dalam buku, dosen memberikan beberapa cara pendampingan belas kasihan yang diusulkan oleh Gereja sendiri:
a.       Menyakinkan pasangan yang telah berpisah dan kawin lagi bahwa mereka tidak perlu menganggap diri mereka terpisah dari Gereja. Sebagai orang-orang yang telah dibaptis mereka dapat, bahkan harus, mengambil bagian aktif dalam hidup menggereja di paroki, wilayah rohani dan kelompok kategorial.

Menurut saya, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dapat bergaul atau menjalin relasi secara aktif dalam kehidupan sosial kerohanian dalam suatu wilayah gerejawi tertentu.  Saya pikir, tindakan pastoral yang pertama-tama itu harus dilakukan adalah berupaya untuk memberikan pendekatan pastoral kepada seluruh umat gerejawi itu agar mereka juga dengan penuh sadar dan sukacita menerima keluarga ini. Jika mereka sudah dapat menerima keluarga ini dengan baik, maka keluarga ini pula dengan sendirinya dapat menjalin hidup atau relasi dengan umat pada umumnya. Kebanyakan yang terjadi di lapangan, keluarga sulit untuk menjalin relasi dengan umat lainnya, karena tidak ada penerimaan dari umat itu sendiri. Dengan demikian mereka merasa minder. Jika petugas pastoral sudah bisa memberikan keterangan dan arahan kepada umat pada umumnya, dengan demikian umat itu yang akan mengajak keluarga ini untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan gereja di lingkungan sekitar. Contoh yang paling jelas adalah  kehidupan wilayah rohani ataupun kegiatan kategorial lainnya.
b.      Mereka harus didorong untuk membaca Kitab Suci, menghadiri Ekaristi, berkanjang  dalam doa-doa, memberikan derma dan terlibat dalam kegiatan sosial-ekonomi Gereja.

Menurut saya, semua kegiatan ini akan dapat terlaksana jika ada kesadaran dari pejabat gereja, para umat dan terlebih khusu dari keluarga-keluarga yang bermasalah ini. Jika ketiganya dapat saling bekerja sama dengan baik, maka pembangunan iman umat dapat terlaksana dalam wilayah gerejawi tersebut. Keluarga-keluarga yang bermasalah ini juga merasa terbantu dan terhibur dalam kehidupan sosial kemasyarakatan serta kehidupan lingkungan rohani. Dengan demikian, mereka dapat menghidupi iman mereka secara baik.
c.       Mereka diajak untuk membesarkan anak-anak mereka menurut iman Kristiani, memupuk semangat berkorban dan laku tapa serta memohonkan rahmat Allah.

Menurut saya, hal ini dapat terwujud asalkan kedua orang tua mereka juga memiliki semangat hidup rohani yang baik. Kehidupan pembinaan agama dan iman dapat terjadi itu melalui keluarga. Tetapi, kehidupa rohani itu harus disertakan dengan contoh-contoh. Anak-anak biasanya lebih suka untuk meneladani orang tuanya. Jika orang tuanya rajik ke gereja, mengajak anak ke gereja, pasti anak itu pula akan terbiasa dengan sendirinya. Namun, sebaliknya jika orang tua malas maka anak itu pun pasti akan malas.
d.      Gereja perlu menyemangati dan mendoakan mereka dean memperlihatkan diri sebagai ibu yang penuh pengertian dan belas kasih dan menopang mereka dalam iman dan pengharapan.

Menurut saya, seandaianya saya yang menjadi keluarga bermasalah dengan pernyataan seperti itu maka saya akan bertanya: secara konkretnya Gereja itu siapa saja? Lalu siapa yang harus mendoakan, memberi pengertian dan menopang kami dalam iman dan pengharapan?
Saya berefleksi untuk mencari jawabannya. Saya pikir Gereja itu adalah semua umat beriman. Kalau diparoki berarti ada pastor paroki, ada dewan pastoral paroki, ada ketua-ketua wilayah rohani, ada ketua-ketua kelompok kategorial, kaum bapa, WK RI, remaja, mudika, dan lain sebagainya.  Pertanyaan selanjutnya, apakah mereka umat beriman dalam hal ini Gereja, sungguh-sungguh peduli pada keluarga yang bermasalah? Ataukah, malah hal sebaliknya yang dilakukan? Mereka menjuahi, mencemooh, bahkan menghina dan tidak menghirauka keluarga-keluarga seperti ini. Mereka mengangap keluarga ini hanya perusak iman dan moral gereja saja.
Seperti yang telah saya utarakan dalam point pertama tadi. Dalam hal ini, pastor paroki sebagai petugas pastoral yang sangat berperan penting. Pertama-tema ia harus memberikan pengertian dan pemahaman terlebih dahulu kepada umat beriman seluruhnya akan peran dan tugas mereka dalam kehidupan umat bermasyarakat. Jadi, yang diperhatikan bukan hanya umat yang tidak ada masalah tetapi keluarga yang bermasalah juga harus diperhatikan agar gereja itu dapat merangkum seluruh keselamatan umat beriman yang berada dalam suatu wilayah gerejawi tertentu. Bentuk konkret dari perhatian ini adalah, dengan menerima mereka dalam komunitas, mengajak mereka dalam kegiatan-kegiata komunitas, bahkan memberikan tanggung jawab tertentu sehingga mereka sungguh-sungguh merasa untuk dihargai.
Baiklah apa yang dikatakan oleh FC tentang cara pastoral bagi keluarga yang sudah menikah lagi. Pertama, Gereja berupaya untuk menyadarkan mereka bahwa apa yang telah lakukan itu merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, mereka harus bertobat. Mereka bisa memperoleh sakramen tobat dan ekaristi apabila mereka hidup tertarak sama sekali.
Menurut saya, tepatlah apa yang dilakukan oleh gereja untuk keluarga yang mengalami kasus seperti ini. Namun, perlu diingat pulah bahwa bukanlah suatu hal yang gampang itu hidup bertarak dalam suatu keluarga. Tidaklah mudah suami dan istri untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, ada banyak kasus yang terjadi bahwa banyak anggota keluarga katolik yang bermasalah ini tidak atau belum menerima sakramen tobat maupun ekaristi karena masalah yang mereka hadapi atau jalani ini. Lantas, jika demikian hal apa yang harus dilakukan Gereja? Menurut saya, hal yang paling baik jika situasi demikian adalah dengan tetap mengajak mereka masuk dalam persekutuan komunitas. Walaupun mereka tidak menerima sakramen tobat dan ekaristi bukan berarti mereka tidak masuk dalam anggota komunitas. Diharapkan dengan hidup komunitas, membangun hidup doa yang baik, menjadi teladan dan mempraktekkan semangat injili yang dijiwai oleh cinta kasih Kristus rahmat Allah akan senantiasa ada dalam kehidupan mereka. Jika keluarga ini, tidak mampu hidup bertarak sama sekali, namun mereka mampu untuk menunjukkan semangat hidup keluarga kristiani kita menaruh harapan yang besar akan kuasa Allah dan rahmat-Nya bagi keluarga ini. Intinya, agar gereja tetap menjaga iman dan menjaga kehidupan mereka agar selalu bersatu bersama denga gereja.
Kedua,  demi penghormatan pada sakramen Perkawinan, bagi pasangan suami-istri sendiri dan bagi keluarga mereka, serta bagi persekutuan umat beriman, setiap pastor dilaran, entah apapun  alasannya, untuk menyelenggarakan upacara apapun bagi orang-orang yang berpisah untuk kawin lagi. Perayaan seperti itu akan memberikan kesan seolah-olah ada perkawinan baru yang sah secara sakramental, dan dengan demikian akan menyesatkan umat mengenai tak terceraikannya perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah.
Saya, pikir pernyataan ini sungguh-sungguh jelas adanya. Pastor paroki memang jangan memberikan atau menyelenggarakan upacara apapun.  Hal ini juga nantinya akan menjadi batu sandungan bagi umat yang saleh. Oleh karena itu, untuk menjaga iman umat jangalah bertingkah laku yang aneh yang hanya akan membuat konfrontasi dalam kehidupan komunitas.
3.      Orang Katolik yang menikah Secara Sipil saja
Perkawinan atau pernikahan dalam bentuk ini merupakah pengaruh dari perkembangan zaman ataupun dunia yang semakin sekuler. Menurut saya pribadi, ada kebingungan ataupun kekaburan dengan orang yang hanya menikah secara sipil saja. Padahal menurut hukum Indonesia sendiri, orang yang menikah secara sipil itu berarti sudah menikah secara sah dalam gereja ataupun agama tertentu. Dalam pemerintahan tinggal pencatatan saja bahwa orang ini atau kedua pasangan ini sudah menikah secara sah dalam agama tertentu. Permasalahan ini juga sempat diangkat dalam diskusi dikelas. Berdasarkan hasil diskusi itu maka dilihat bahwa orang yang menikah secara sipil hanya memberikan atau memasukkan namanya dalam pemerintah setempat yang menyatakan bahwa kedua pasangan ini sudah menikah. Hal itu dicatat dalam catatan pemerintah agar status mereka menjadi jelas dalam catatan pemerintah yang mana mereka berdua telah menikah. Walaupun begitu keduanya belum sah dalam agama manapun.
Untuk lebih mengerti konteks menikah secara sipil ini maka saya melihat beberapa hal yang diungkapkan oleh dosen pembimbing berkaitan dengan menikah secara sipil ini. Beberapa orang katolik menikah secara sipil saja karena tidak pernah memiliki iman katolik yang hidup. Iman mereka hanya dangkal dan tidak terlalu mengerti akan pentingnya kesucian iman katolik.  Alasan lain lagi beberapa orang katolik menikah secara sipil karena mereka menghargai perkawinan gerejani yang tidak terceraikan, namun mereka sendiri merasa belum sanggup untuk menikah atas cara demikian. Mereka takut kalau-kalau perkawinan ini akan tidak tidak utuh.  Alasan lain mengatakan bahwa orang katolik menikah secara sipil karena mereka memang menolak gereja. Mereka ingin membebaskan dir dari pengaruh Gereja. Dan sebagai tanda penolakan itu mereka sengaja untuk menikah secara sipil saja.
Menurut saya, apapun alasan yang dikemukakan tentang orang katolik yang nikah sipil itu, perkawinan ini tidak bisa dijadikan sebagai perkawinan yang sah. Alasannya, perkawinan sipil tidak dapat dijadikan landasan di dalam gereja yang memiliki berbagai macam persyaratan untuk tericptanya suatu pernikahan. Apapun yang terjadi, pernikahan secara sipil tidak bisa diangap legitim atau sah sesuai hukum. Mungkin secara pemerintahan bisa, tetapi dalam gereja tidak bisa dipertanggungjawabkan orang-orang yang menikah secara sipil ini. Orang katolik yang ingin menikah, yang siap menjalani suatu keterikatan ataupun persekutuan, harus benar-benar menyadari akan makna perkawinan ini. Perkawinan orang beriman katolik bukanlah suatu perkawinan yang coba-coba saja atau asal-asalan saja. Saya kawin dulu secara sipil, nanti kalau sudah tidak cocok maka bisa diceraikan. Orang katolik yang  seperti ini harus diluruskan pemikirannya tentang perkawinan “sebagai orang katolik” sejati.
Dari hal diatas dapat dikatakan bahwa pendampingan atau bentuk pastoral yang baik bagi orang katolik yang nikah secara sipil adalah dengan memberikan pemahaman kepada mereka akan kesucian dan nilai luhur dari sepasang katolik yang telah menikah. Sebagai orang katolik yang telah menikah mereka harus sungguh-sungguh menpunyai komitment yang tinggi untuk menunjukkan persatuan antara Allah dan manusia, antara Gereja dan umatnya dalam perkawinan yang telah mereka jalani itu. Perkawinan orang katolik bukanlah perkawinan coba-coba saja. Mereka harus konsisten dengan pilihan hidup dan berani mengambil keputusan dalam kehidupan mereka. Jangan takut tetapi harus berani. Dalam proses itu gereja membantu penghayatan dan pendalaman iman serta pemahaman mereka tentang perkawinan orang katolik.
4.      Orang katolik yang “baku piara” (kumpul kebo/ de facto hidup bersama)
Dalam konteks sosial-kultural, budaya lingkungan dari penulis, hal ini banyak terjadi di Minahasa. Ada banyak hal yang menimbulkan sehingga terjadinya hal atau fakta ini. Selain yang telah diungkapkan oleh dosen menurut dokumen FC, ada alasan-alasan praktis lainnya yang menyebabkan sehingga orang melakukan praktek keagamaan seperti ini, apalagi yang katolik.  Beberapa alasan yang diungkapkan oleh  FC adalah masalah ekonomi, menolak campur tangan masyarakat, atau ketidakmampuan psikologis yang membuat mereka bimbang atau takut untuk memasuki suatu ikatan yang tetap dan pasti; atau dalam beberapa negeri adat-istiadatnya mengatur bahwa perkawinan terjadi setelah jangka waktu hidup serumah dan melahirkan anak pertama.
Beberapa alasan diatas yang dikemukakan cukup umum. Berikut ini, saya mencoba menyajikan beberapa alasan praktis yang sesuai dengan kulture budaya yang terjadi di masyarakat Manado. Hal pertama yang bisa menjadi alasan baku piara ini adalah ketidaksetujuan orangtua atas pasangan. Orang tidak setuju anaknya untuk menikah dengan orang yang tidak mereka sukai. Dengan demikian, mereka tidak merestui perkawinan anaknya itu. Hal ini terjadi juga, dengan pihak yang satu juga merasa tersingung akhirnya tidak menyutujui juga perkawinan tersebut. Pada akhirnya kedua pasangan ini menjadi bingung karena kedua orang tua meraka tidak setuju pada hubungan yang mereka jalin. Akhirnya, karena cinta yang ada maka mereka lari dan belum siap untuk kawin secara agama. Jadi mereka berdua hanya tinggal seatap saja tanpa pengakuan dari agama maupun catatan  sipil.  Alasan lain juga karena keterbatasan ekonomi. Saya pernah pergi ke pusat kota Manado.  Kebetulan rumah yang saya pergi itu adalah tempat kos. Saya merasa kaget bahwa sebagian besar yang kos di situ sudah berkeluarga.  Lebih parahnya lagi, mereka sudah hidup bertahun-tahun di kos-kossan itu dan belum pernah diakui perkawinan mereka. Saya mencoba mencari tahu alasannya. Kebetulah bapak pemiliki rumah itu cukup tahu dari istrinya tentang permasalahan mereka. Pada umumnya, orang tua mereka sudah tidak mengakui mereka sebagai anak karena mereka telah hamil duluan sebelum menikah. Hal itu terjadi ketika mereka sekolah atau bekerja di Manado. Pada akhirnya, orang tua sudah malu dan anak itu juga tidak mau lagi pulang ke rumah. Akhirnya, mereka hanya tinggal di kossan dan tinggal di perkotaan saja selama bertahun-tahun.  Tentu perlu juga diketahui ada alasan-asalan lain  lagi yang melatarbelakangi hal ini.
Dari beberapa contoh diatas maka saya berpikir bahwa benarlah apa yang diungkapkan oleh FC bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang sah dan bahkan harus ditolak. Tapi, timbul pertanyaan bahwa apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang ini? Bahkan ada yang mengataka bahwa ada keluarga yang “kumpul kebo” ini hidup keluarganya lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang menikah secara sah. Dan memang hal ini nyata terjadi, dan ada. Oleh karena itu Gereja harus mengambil perannya terhadap anggota komunitas katolik yang hidup seperti ini.
Gereja harus menjadi sarana dan jalan keluar bagi mereka yang mengalami hal-hal seperti ini. Salah satu jalan yang terbaik berupaya untuk menuntun mereka agar bisa menyelesaikan masalah mereka dengan keluarga ataupun meluruskan pemahaman mereka. Mereka harus mendidik mereka agar supaya mereka bisa menjalani kehidupan kekatolikan mereka dengan baik. Gereja harus menjadi terang penuntu bagi mereka. Proses pembinaan terhadap orang-orang seperti ini sangat diperlukan. Tentu agar mereka mau dituntun maka harus ada pendekatan terlebih dahulu. Selain itu pula, dapat dilakukan perkawinan masal. Setelah diselidiki, orang-orang atau pasangan-pasangan tertentu yang sudah bisa memenuhi syarat maka perlu adanya perkawinan masal sehingga hidup saleh dari keluarga-keluarga ini dapat dituntun dalam terang gereja sendiri.

Ada begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh umat beriman di zaman ini. Seiring berkembangnya zaman, banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang muncul berkaitan dengan moral manusia. Gereja harus berupaya dengan sebaik mungkin agar iman umat katolik tetap dapat dipertahankan walaupun terdapat berbagai macam tantangan dan rintanga yang menghalangi keutuhan umat beriman.
Dalam refleksi ilmiah diatas penulis telah mencoba untuk melihat, menggali, merenungkan akan permasalahan-peramasalahan yang terjadi sekitar perkawinan umat katolik. Permasalahan-permasalahan tersebut begitu kompleks dan cukup sulit dalam penangannya. Tidaklah begitu mudah untuk menyelesaikan suatu permasalahan nikah dalam kehidupan umat beriman. Oleh karena itu gereja harus terus menerus berupaya dengan sebaik mungkin mendidik dan mengembangkan para petugas pastoralnya agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sehingga bisa mendidik umat sesuai dengan ajaran iman katolik.
Gereja harus membina keluarga-keluarga katolik yang berada dala berbagai permasalahan. Sebenarnya, berbagai macam permasalahan yang ada itu dapat diselesaikan dengan satu kegiatan kunci dari para petugas pastoral itu sendiri, dalam hal ini pastor paroki. Kegiatan kunci itu adalah kunjungan umat. Umat akan sangat dihargai apabila pastor paroki datang untuk mengunjungi mereka. Dalam kunjungan itulah pastor paroki mulai menghantar dan mendidik mereka. Kunjungan sangat penting dalam karya pastoral yang akan menuntun umat pada pemahaman yang benar tentang iman katolik. Apakah, sudah banyak pastor paroki yang begitu? Perkembangan iman umat ada di tangah petugas pastoral. Umat memang memiliki banyak masalah, tetapi ketika masalah itu dibantu oleh pastor paroki maupun petugas pastoral mereka akan sangat dihargai dan membantu mereka.

Sumber bacaan dan rujukan:
Refleksi ilmiah ini dibuat oleh penulis berdasarkan sumber buku dari P. Albertus Sujoko, Teologi Moral Keluarga, Yogyakarta: Kanisius, 2011. Sumber seluruhnya ada dalam buku ini, sehingga terdapat berbagai penulisan ataupun kalimat diambil oleh penulis dari buku ini. Semoga refleksi ini bisa berguna bagi banyak orang. Terima kasih kepada dosen pembimbing P. Albertus Sujoko, yang telah menghantar kami khususnya saya untuk mendalami mata kuliah Teologi Keluarga sepanjang semester ini.